Allah menciptakan bermilyar-milyar embrio suatu makhluk
tercerdas di muka bumi, tujuannya adalah agar kelak para pewaris ‘cerdas’ dapat
tumbuh menjadi seorang manusia yang penuh dengan tanggung jawab. Tanggung jawab
terhadap lisan atau tulisan yang kelak tertuju bukan hanya untuk dirinya
sendiri. Kecerdasan manusia didesain untuk mencukupi setiap luapan hati dan
pikiran yang akhirnya tercurah ke wilayah publik.
Gibah dan fitnah merupakan salah satu
bentuk pertanggungjawaban seorang makhluk berakal yang minim nurani. Bagaimana tidak?
Ketika si pelaku gibah maupun fitnah kerap kali lolos dari rasa bersalah. Menikmati
setiap proses kehancuran nama baik orang lain atas lalai lisan dan tulisannya. Siapapun
dari kita akan sangat berpotensi menjadi penggibah dan tukang fitnah ulung bila
hati tak segera ditata lalu lupa dengan kalimat ampuh yakni istigfar.
Kita terlalu sering menyalahkan setan
saat terdesak kalah oleh gibah dan fitnah yang kita atur skenarionyauntuk sesama.
Padahal setan hadir dan merusak pori-pori iman ketika kita lalai menyebut
nama-Nya. Ya! Diri kita sendirilah yang menciptakan sesosok aib yang diberi
nama setan. Tapi sayangnya kita pura-pura lupa dengan sosok yang lahirnya dari
diri sendiri.
Apakah terlalu susah untuk menghindari
gibah dan fitnak bagi kita? Yang bahkan setiap harinya kita harus berhadapan
dengan banyak orang yang mungkin saja memiliki kekurangan. Kenapa kita bilang
kekurangan? Karena kelebihan dari orang lain tertutup oleh rasa lebih dari diri
kita sendiri. Lagi-lagi bisa jadi karena diri ini selalu merasa benar dan
bangga men-Tuhankan pendapat sendiri.
Lalu bagaimana bila kitalah yang menjadi
sasaran gibah dan fitnah? Tentunya hal pertama yang perlu kita ketahui adalah
banyak-banyak bersyukur. Karena degan cara seperti itu kita diberi kekurangan
waktu untuk menggibah balik orang lain. kita tahu rasanya sakit saat gibah atau
fitnah itu datang menghampiri, makanya hati dan lisan kita lebih tertahan untuk
tidak melakukan hal sama.
Kedua,
Saat diri kita menjadi sasaran gibah
atau fitnah pasti ada rasa ingin marah dan membalas dendam. Setiap dari kita
sebenarnya telah dibimbing oleh nurani masing-masing. Saat diri kita terluka
maka pilihan terbaik selalu hati bisikkan lebih kencang. Bila masih ada
bisik-bisik buruk maka upayakan langkah kita untuk beristigfar dan pergi
berwudhu, lalu sebisa mungkin menjauh dari hingar bingar sumber kekacauan hati.
Ketiga,
Saat diri kita menjadi sasaran gibah
atau fitnah, terkadang tanpa si penggibah sadari ternyata dirinya pun sedang
menjadi bahan gibahan orang lain. Nah di sini waktunya kita membalas sakit hati
dengan cara memanusiakan manusia. Diam! Jangan mau ikut terseret menggibah orang
yang telah menggibah kita. Jangan mau kita menjadi serupa dalam jaringan dosa
yang tak kasat mata.
Keempat,
Perbanyaklah waktu untuk duduk berdua
dengan Allah, panjangkan sujud-sujud kita. Doakan hal-hal baik atas prilaku
menyakitkan dari orang orang lain terhadapa diri kita. Kadang tanpa kita sadari
bahwa nasihat “diam itu emas” bila dipraktikkan secara langsung sangat benar
maknanya. Bila tak dapat berkata-kata baik maka diam adalah pilihan yang paling
anggun.
Kelima,
Maafkan. Memang perkara memaafkan
bukan hal mudah, tapi ketika kita menyadari nikmatnya menjadi seseorang yang
berada di posisi objek gibah atau fitnah, maka senyum keikhlasan akan terpancar
dengan sendirinya bila kita berserah diri kepada Allah. Karena apa? Karena kita
yang mengatur maaf atas apa yang menjadi kesalahan orang lain. kita secara tak
langsung menjadi seorang raja atau ratu di istana kaum pemaaf. Maka maafkanlah,
dengan begitu kita berhasil menjadi khalifah untuk diri kita sendiri. Bijak mengatur
kerajaan hati meski terombang-ambing dan hampir tumbang. Jadilah cahaya
terutama untuk jiwa sendiri.
Butalah terhadap kekurangan orang
lain, maka Allah senantiasa membimbing jiwa dan raga kita untuk selalu terjaga
dari perihal boroknya hati.
لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidaklah seseorang menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” [Shahih Muslim]
Artikel ini mengingatkan untuk lebih berhati-hati terhadap lisan. Setiap huruf yang keluar dari lisan, dari status, dari chat, akan dimintai pertanggungan jawab. Makasih sharingnya Mba Septia..
ReplyDeletesetuju Mba, setiap gerak gerik kita pada akhirnya bakal kita pertanggungjawabkan pada Allah SWT..
DeleteTerima kasih kembali Mba udah bersedia mampir hehe